Yustisi, Bandar Lampung (19.08.2025)
Oleh: Tulus Abadi
Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia
Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong Shyun Tsai, baru-baru ini menegaskan larangan total penggunaan vape. Pemerintah Singapura bahkan mengancam hukuman penjara bagi warga yang nekat melanggar aturan tersebut. Alasannya jelas: vape dianggap sangat adiktif dan berbahaya, setara dengan narkoba.
Singapura bukanlah negara pertama yang mengambil langkah tegas ini. Setidaknya ada 22 negara lain yang telah melarang vape, di antaranya Argentina (sejak 2011), Brasil (2014), Mesir, India, Brunei Darussalam, Uruguay, Yordania, Uni Emirat Arab, Vietnam, Turki, Tiongkok, Taiwan, hingga Thailand. Langkah ini tentu sangat positif, terutama untuk melindungi anak-anak, remaja, dan generasi muda mereka dari ancaman kecanduan nikotin.
Fenomena di Indonesia: Sebaliknya Justru Melonjak
Sayangnya, kondisi di Indonesia memperlihatkan kenyataan yang sangat paradoks. Data menunjukkan bahwa prevalensi penggunaan rokok elektrik di Tanah Air melonjak hingga 10 kali lipat. Pada 2019, prevalensinya baru 0,3 persen. Namun, hanya dalam waktu dua tahun, angka tersebut naik menjadi 3 persen pada 2021.
Lebih memprihatinkan lagi, paradoks kedua adalah mandeknya regulasi. Di tengah meningkatnya konsumsi rokok elektrik maupun rokok konvensional (yang kini mencapai 32 persen), pemerintah justru belum mengimplementasikan aturan pengendalian. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan sudah disahkan.
PP tersebut memuat mandat penting untuk mengendalikan peredaran, periklanan, promosi, hingga konsumsi rokok—termasuk rokok elektrik. Namun hingga kini, Kementerian Kesehatan belum berhasil menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai turunan aturan agar PP ini dapat dijalankan.
Ancaman terhadap Bonus Demografi
Jika PP 28/2024 terus dibiarkan mangkrak, maka Presiden Prabowo dan pemerintahannya menghadapi risiko besar. Tanpa regulasi yang efektif untuk melindungi anak dan remaja dari rokok, cita-cita mewujudkan bonus demografi, generasi emas, serta Asta Cita yang menjadi visi utama, hanya akan tinggal slogan kosong.
Sebaliknya, jika konsumsi rokok—baik konvensional maupun elektrik—tidak dikendalikan, maka masa depan generasi muda Indonesia justru akan tergadaikan. Bonus demografi yang diharapkan menjadi berkah, bisa berubah menjadi beban.
Kesimpulannya: Singapura dan puluhan negara lain sudah melangkah maju dengan melarang vape demi melindungi generasi mudanya. Indonesia seharusnya tidak terus berjalan di jalur paradoks. Regulasi yang sudah ada perlu segera diimplementasikan dengan konsisten, jika tidak ingin cita-cita besar bangsa berakhir menjadi sekadar mitos.
Tabik.