YUSTISI.ID Jakarta (21.06.2025)
Opini oleh Dr. Ery Setya Negara, S.H., M.H.
Advokat & Konsultan Hukum – Spesialisasi: Commercial Law Litigation, Corporate Law, Banking & Finance, Insurance, Administrative Law
Transformasi dari software house berbasis proyek ke model penjualan produk digital seperti SaaS (Software as a Service) semakin marak diadopsi. Langkah ini diyakini dapat menciptakan pendapatan yang berulang dan lebih stabil, terutama di tengah tekanan proyek yang tidak selalu lancar pembayarannya.
Namun, dari kacamata hukum, langkah pivot ini bukan hanya soal bisnis—ini soal struktur legal dan risiko yang bisa berujung pada kehancuran operasional jika diabaikan.
Risiko dan Kelalaian yang Sering Terjadi
1. Penjualan Produk Digital Memerlukan Kepatuhan yang Berlapis
Menjual produk digital ke pasar, khususnya berbasis langganan dan berbasis data, memerlukan dokumen hukum yang spesifik dan akurat: mulai dari Terms of Use, kebijakan privasi, hingga ketentuan refund dan SLA.
Kesalahan umum: banyak software house membuat produk dan langsung menjual tanpa konsultasi hukum. Akibatnya, tidak ada perlindungan kontraktual jika konsumen menggugat karena kerugian, atau jika data pengguna bocor dan disalahgunakan.
Perusahaan seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok selalu menghadirkan syarat & ketentuan serta kebijakan privasi yang dirancang profesional, karena mereka memahami: kesalahan dokumen legal bisa jadi pintu masuk bagi sanksi regulator dan gugatan class action.
2. Ketidaksiapan Organisasi = Sumber Konflik Internal
Saya kerap menangani kasus ketika software house memperlakukan timnya sebagai “multifungsi”: mengurus proyek, lalu dipaksa juga mengembangkan dan memelihara produk. Padahal, secara kontraktual, karyawan tidak dilindungi untuk beban kerja seperti itu.
Tanpa SOP dan klausul kerja yang jelas, ini bisa menimbulkan gugatan hubungan industrial, konflik kepemilikan hak cipta, hingga pelanggaran perjanjian kerja.
Belajar dari Para Pemain Besar: Mitigasi Sejak Awal
Perusahaan seperti Julo (fintech), Ruangguru (edtech), dan TikTok Shop (e-commerce) ketika masuk ke model produk digital, selalu diiringi dengan:
- Legal audit menyeluruh,
- Penyesuaian dokumen hukum publik dan internal,
- Pembentukan tim compliance dan legal in-house,
- Serta pemetaan perizinan berdasarkan sektor (OJK, Kemendikbud, Kominfo, dll).
Software house kecil jangan terbuai kesuksesan teknologi, tapi buta akan kebutuhan legal. Ini kesalahan fatal.
Ancaman Serius Jika Diabaikan
Tanpa kesiapan hukum, berikut adalah risiko nyata yang bisa menghantam software house secara langsung:
- Gugatan Konsumen Massal (Class Action): Produk SaaS yang gagal memenuhi janji layanan atau menimbulkan kerugian dapat digugat secara kolektif, apalagi jika tidak ada SLA dan disclaimer yang sah secara hukum.
- Sanksi Administratif dan Pidana: Jika software house mengelola data pribadi tanpa izin dan perlindungan memadai (UU PDP No. 27/2022), maka denda miliaran dan pidana penjara bisa dijatuhkan.
- Sengketa Kepemilikan Produk (IPR): Tanpa kontrak yang mengikat antara pemilik, tim, dan investor, produk bisa menjadi bahan rebutan ketika bisnis mulai sukses.
- Pencabutan Izin Operasional atau Pemblokiran Platform: Dalam sektor edtech, fintech, dan healthtech, izin dari kementerian terkait wajib. Tanpa itu, promosi publik bisa dianggap ilegal.
- Pembekuan Dana dan Akun Perusahaan: Terutama jika masuk ke sektor keuangan atau e-commerce dengan regulasi ketat, tanpa izin dan compliance, rekening bisnis dan transaksi bisa diblokir.
Peringatan Tegas: Bisnis digital tanpa legalitas adalah seperti membangun gedung di atas pasir. Cepat berdiri, tapi mudah ambruk.
Langkah Aman Menuju Pivot yang Legal dan Berkelanjutan
Untuk setiap software house yang serius ingin naik kelas ke model produk, saya sarankan:
- Pisahkan tim produk dari tim proyek.
- Buat kontrak kerja dan NDA yang mendukung pengembangan internal.
- Lakukan legal due diligence atas semua komponen produk (termasuk plugin dan konten).
- Segera daftarkan HKI (kode sumber, merek, UI desain).
- Buat dokumen hukum pengguna yang memenuhi UU Perlindungan Data Pribadi dan UU ITE.
- Libatkan konsultan hukum atau tim in-house legal sejak awal.
Inovasi Tidak Membebaskan dari Hukum—Justru Mengikatnya Lebih Kuat
Transformasi bisnis adalah bagian dari inovasi. Tapi di dunia hukum, inovasi tanpa kepatuhan adalah pelanggaran menunggu waktu.
Jangan sampai ambisi membangun produk digital justru menjadi bom waktu hukum yang meledak ketika bisnis mulai tumbuh. Hindari celahnya sejak sekarang—dengan pendekatan hukum yang tegas, sistematis, dan terukur. (Aang/Red)